Film
yang di awali dengan adegan jatuhnya mas Gagah di laut ini menurut saya
merupakan makna dari kata”pergi” yang dipakai dalam judul film dari novel Helvy
Tiana Rosa, pun kata “pergi” juga ditegaskan oleh pemeran Yudi saat ia orasi di
bus tentang Hijrah.. Namun dari sudut pandang penonton kata hijrah belum bisa
saya maknai sepenuhnya dalam KMGP the movie satu ini, mungkin akan terjawab
dalam KMGP 2 nanti, maka mungkin terlalu dini meresensi film ini, karena bisa
jadi banyak pertanyaan yang belum terjawab di KMGP 1 akan tervisualisasikan di
KMGP 2 nanti.
Tapi
setelah menonton tayangan Ketika Mas Gagah Pergi bagian satu, ada beberapa hal
yang berjejalan dikepala yang akan coba saya uraikan satu per satu. Dalam hal ini saya ingin menjabarkannya
menjadi dua bagian,
Yang
pertama tentang cerita
Di
awal tayangan tertulis film ini diangkat dari novel yang sudah diterbitkan dua
puluh tahun yang lalu, maka dibenak saya akan terpikir setting, latar , serta
atmosfer kala itu, namun nyatanya film ini dikemas kekinian, mulai dari trend
fashion, setting adegan misal selfie, penggunaan kata- kata populer yang
dijaman itu belum ada, juga model- model kafe, gedung sekolah yang nampak fresh
dijaman sekarang. Jadi saya berpikir cerita yang sudah dua puluh tahun ini sengaja dibuat berdasarkan kondisi saat ini.
Saya
sangat tertarik dengan salah satu model dakwah yang ditampilkan dalam film ini,
seorang Yudi yang naik turun bus memberikan ceramahnya, mungkin mb Helvy
menulis ini karena di eranya dakwah macam ini sudah ada, jika pun tidak menurut
saya ini sangat inspiratif, suatu bentuk ajakan yang tak hanya terbatas pada
ruang gerak tertentu.
Prolog
diawal film adalah sebuah bahasan yang ingin menunjukkan sosok mas Gagah,
khususnya di mata Gita adiknya, mungkin prolog ini juga yang akan mendramatisir
klimaks ketika mas Gagah berubah dan hubungan mereka renggang, perasaan
penonton akan dimainkan disini, namun bagi saya pribadi perasaan itu kurang
bermain, sense adik kakak saat mas Gagah dan Gita dewasa kurang berasa, setahu
saya film ini memang disetting agar tetap menjaga batas-batas syar’i antar
pemain, mungkin alasan ini tepat ketika sense itu kurang kuat, berbeda ketika
mas Gagah dan Gita kecil, jutru lebih terasa disitu. Namun ini adalah langkah
awal yang sangat bagus, berbagai strategi dilakukan sutradara agar kekompakan
itu tetap nampak tanpa melanggar batas syar,i, misal si mas Gagah yang suka
menimpuk topi adiknya sehingga tak secara langung “bersentuhan”.
Bagian
kedua saya ingin membahas masalah teknis, saya bukan ahli di bidang videografi
tapi ingin menggambarkan kesan yang saya rasakan sebagai penonton ketika
disajikan film ini.
Pemilihan
casting sangat bagus, wajah mas Gagah dan Gita sangat mirip, apalagi di foto
yang digunakan sebagai latar belakang pertengkaran mas Gagah dan Gita sepulang
dari hajatan.
Sedangkan
secara alur, loncatan adegan beberapa kali saya rasakan, terutama ketika
menampilkan adegan di rumah cinta, perpindahannya terlalu tiba-tiba. Cmiiw
heeeee
Film
ini terobosan baru di dunia perfilm an islam, menambah warna dan tentunya
menambah daftar film islami. Tentunya penonton juga sudah menunggu
kisah-kisah selanjutnya, saya berharap proses hijrah mas Gagah yang terkesan
begitu cepat di part pertama akan diceritakan di part ke dua untuk mengobati rasa
penasaran saya dan mungkin penonton yang lain. http://www.flp.or.id/.
Andika
Alya
27
Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar